Pengaruh pestisida dalam lingkungan pertanian
Dengan meningkatnya pembangunan nasional
dan juga terjadinya peningkatan industrialisasi diperlukan saran-sarana
yang mendukung lancarnya proses industrialisasi tersebut, yaitu dengan
meningkatkan sektor pertanian.
Menurut Suwanto (1994), kondisi
pertanian di Indonesia di masa mendatang banyak yang akan diarahkan
untuk kepentingan agroindustri. Salah satu bentuknya akan mengarah pada
pola pertanian yang makin monokultur, baik itu pada pertanian darat
maupun akuakultur. Dengan kondisi tersebut, maka berbagai jenis penyakit
yang tidak dikenal atau menjadi masalah sebelumnya akan menjadi kendala
bagi peningkatan hasil berbagai komoditi agroindustri.
Peningkatan sektor pertanian
memerlukan berbagai sarana yang mendukung agar dapat dicapai hasil yang
memuaskan dan terutama dalam hal mencukupi kebutuhan nasional dalam
bidang pangan/sandang dan meningkatkan perekonomian nasional dengan
mengekspor hasil ke luar negeri. Sarana-sarana yang mendukung
peningkatan hasil di bidang pertanian ini adalah alat-alat pertanian,
pupuk, bahan-bahan kimia yang termasuk di dalamnya adalah pestisida.
Ton (1991) mengatakan bahwa di
negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang yang mencukup
kebutuhannya sendiri dalam bidang pangan/sandang, penggunaan bahan-bahan
kimia pertanian membantu pada kemajuan dan perkembangan pertanian
selanjutnya. Tetapi di negara-negara berkembang telah mengurangi
penggunaan dari bahan-bahan kimia pertanian karena merupakan salah satu
penyebab utama dari pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan terutama
lingkungan pertanian disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia
pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata bahwa bahan-bahan kimia
pertanian dalam hal ini pestisida, meningkatkan produksi pertanian dan
membuat pertanian lebih efisien dan ekonomi. Pencemaran oleh pestisida
tidak saja pada lingkungan pertanian tapi juga dapat membahayakan
kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada
produk-produk pertanian dan pada perairan. Bagaimana cara untuk
meningkatkan produksi pertanian disamping juga menjaga keseimbangan
lingkungan agar tidak terjadi pencemaran akibat penggunaan pestisida
yang dapat mengganggu stabilitas lingkungan pertanian.
Untuk itu perlu diketahui peranan
dan pengaruh serta penggunaan yang aman dari pestisida dan adanya
alternatif lain yang dapat menggantikan peranan pestisida pada
lingkungan pertanian dalam mengendalikan hama, penyakit dan gulma.
PERANAN PESTISIDA DALAM
PERTANIAN
Pestisida adalah bahan kimia yang
digunakan untuk mengendalikan perkembangan/pertumbuhan dari hama,
penyakit dan gulma. Tanpa menggunakan pestisida akan terjadi penurunan
hasil pertanian. Pestisida secara umum digolongkan kepada jenis
organisme yang akan dikendalikan populasinya.
Insektisida, herbisida, fungsida dan
nematosida digunakan untuk mengendalikan hama, gulma, jamur tanaman yang
patogen dan nematoda. Jenis pestisida yang lain digunakan untuk
mengendalikan hama dari tikus dan siput (Alexander, 1977).
Berdasarkan ketahanannya di
lingkungan, maka pestisida dapat dikelompokkan atas dua golongan yaitu
yang resisten dimana meninggalkan pengaruh terhadap lingkungan dan yang
kurang resisten. Pestisida yang termasuk organochlorines termasuk
pestisida yang resisten pada lingkungan dan meninggalkan residu yang
terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai
makanan, contohnya DDT, Cyclodienes, Hexachlorocyclohexane (HCH),
endrin.
Pestisida kelompok organofosfat
adalah pestisida yang mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan
cepat terdegradasi di tanah, contohnya Disulfoton, Parathion, Diazinon,
Azodrin, Gophacide, dan lain-lain (Sudarmo, 1991).
Dalam bidang pertanian pestisida
merupakan sarana untuk membunuh jasad pengganggu tanaman. Dalam konsep
Pengendalian Hama Terpadu, pestisida berperan sebagai salah satu
komponen pengendalian, yang mana harus sejalan dengan komponen
pengendalian hayati, efisien untuk mengendalikan hama tertentu, mudah
terurai dan aman bagi lingkungan sekitarnya. Penerapan usaha
intensifikasi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi, seperti
penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan, pola tanam serta
usaha pembukaan lahan baru akan membawa perubahan pada ekosistem yang
sering kali diikuti dengan timbulnya masalah serangan jasad penganggu.
Cara lain untuk mengatasi jasad penganggu selain menggunakan pestisida
kadang-kadang memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang besar dan hanya
dapat dilakukan pada kondisi tertentu. Sampai saat ini hanya pestisida
yang mampu melawan jasad penganggu dan berperan besar dalam
menyelamatkan kehilangan hasil (Sudarmo, 1991).
Informasi yang terperinci tentang
tingkat keracunan, keberadaan dalam tanah, jalan pengangkutan yang lebih
dominan dari berbagai herbisida, insektisida dan fungisida hendaknya
diketahui. Kondisi cuaca penting diperhatikan pada saat pengaplikasian
(Loehr, 1984).
DAMPAK NEGATIF PESTISIDA
TERHADAP LINGKUNGAN PERTANIAN
Peningkatan kegiatan agroindustri
selain meningkatkan produksi pertanian juga menghasilkan limbah dari
kegiatan tersebut. Penggunaan pestisida, disamping bermanfaat untuk
meningkatkan produksi pertanian tapi juga menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan pertanian dan juga terhadap kesehatan manusia.
Dalam penerapan di bidang pertanian,
ternyata tidak semua pestisida mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20
persen pestisida mengenai sasaran sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke
tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut mengakibatkan pencemaran
lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam rantai makanan, sifat beracun
bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker,
mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically Acquired Deficiency Syndrom)
dan sebagainya (Sa’id, 1994).
Pada masa sekarang ini dan masa
mendatang, orang lebih menyukai produk pertanian yang alami dan bebas
dari pengaruh pestisida walaupun produk pertanian tersebut di dapat
dengan harga yang lebih mahal dari produk pertanian yang menggunakan
pestisida (Ton, 1991). Pestisida yang paling banyak menyebabkan
kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah pestisida
sintetik, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan
oleh senyawa organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain,
karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai
(Sa’id, 1994).
Penyemprotan dan pengaplikasian dari
bahan-bahan kimia pertanian selalu berdampingan dengan masalah
pencemaran lingkungan sejak bahan-bahan kimia tersebut dipergunakan di
lingkungan. Sebagian besar bahan-bahan kimia pertanian yang disemprotkan
jatuh ke tanah dan didekomposisi oleh mikroorganisme. Sebagian menguap
dan menyebar di atmosfer dimana akan diuraikan oleh sinar ultraviolet
atau diserap hujan dan jatuh ke tanah (Uehara, 1993).
Pestisida bergerak dari lahan
pertnaian menuju aliran sungai dan danau yang dibawa oleh hujan atau
penguapan, tertinggal atau larut pada aliran permukaan, terdapat pada
lapisan tanah dan larut bersama dengan aliran air tanah. Penumpahan yang
tidak disengaja atau membuang bahan-bahan kimia yang berlebihan pada
permukaan air akan meningkatkan konsentrasi pestisida di air. Kualitas
air dipengaruhi oleh pestisida berhubungan dengan keberadaan dan tingkat
keracunannya, dimana kemampuannya untuk diangkut adalah fungsi dari
kelarutannya dan kemampuan diserap oleh partikel-partikel tanah.
Berdasarkan data yang diperoleh
Theresia (1993) dalam Sa’id (1994), di Indonesia kasus pencemaran oleh
pestisida menimbulkan berbagai kerugian. Di Lembang dan Pengalengan
tanah disekitar kebun wortel, tomat, kubis dan buncis telah tercemar
oleh residu organoklorin yang cukup tinggi. Juga telah tercemar beberapa
sungai di Indonesia seperti air sungai Cimanuk dan juga tercemarnya
produk-produk hasil pertanian.
UPAYA PENANGGULANGAN
PENCEMARAN PESTISIDA
Pencemaran dari residu pestisida
sangat membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan, sehingga pelu adanya
pengendalian dan pembatasan dari penggunaan pestisida tersebut
serta mengurangi pencemaran yang
diakibatkan oleh residu pestisida. Kebijakan global pembatasan
penggunaan pestisida sintetik yang mengarah pada pemasyarakatan
teknologi bersih (clean technology) yaitu pembatasan penggunaan
pestisida sintetik untuk penanganan produk-produk pertanian terutama
komoditi andalan untuk eksport (Suwahyono, 1996).
Dalam hal ini berbagai upaya
dilakukan untuk mengatasi dampak negatif pestissida dan mencegah
pencemaran lebih berlanjut lagi. Peraturan dan Pengarahan Kepada Para
Pengguna Peraturan dan cara-cara penggunaan pestisida dan pengarahan
kepada para pengguna perlu dilakukan, karena banyak dari pada pengguna
yang tidak mengetahui bahaya dan dampak negatif pestisida terutama bila
digunakan pada konsentrasi yang tinggi, waktu penggunaan dan jenis
pestisida yang digunakan. Kesalahan dalam pemakaian dan penggunaan
pestisida akan menyebabkan pembuangan residu pestisida yang tinggi pada
lingkungan pertanian sehingga akan menganggu keseimbangan lingkungan dan
mungkin organisme yang akan dikendalikan menjadi resisten dan bertambah
jumlah populasinya. Untuk melindungi keselamatan manusia dan
sumber-sumber kekayaan alam khususnya kekayaan alam hayati, dan supaya
pestisida dapat digunakan efektif, maka peredaran, penyimpanan dan
penggunaan pestisida diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973
(Sudarmo, 1991). Standar keamanan untuk pengaplikasian pestisida dan
pengarahan untuk penggunaan yang aman dari pestisida, seperti cara
pelarutan, jumlah (konsentrasi), frekuensi dan periode dari aplikasi,
ditentukan oleh aturan untuk meyakinkan bahwa tingkat residu tidak
melebihi dari standar yang telah ditetapkan. Keamanan dari produk-produk
pertanian dapat dijamin bila
bahan-bahan kimia pertanian
diaplikasikan berdasarkan standar keamanan untuk pengaplikasian
pestisida (Uehara, 1993).
Mengarakan kursus-kursus kepada para
pengguna pada penggunaan yang aman dari pestisida, dengan penggunaan
yang bijaksana dari pestisida yang akan menghasilkan perbaikan dalam
produksi dan kualitas pertanian tanpa meninggalkan dampak negatif pada
lingkungan. Kursus-kursus ini dapat diadakan oleh organisasi
industri-industri bahan-bahan kimia pertanian (Ton, 1991). Setiap
kemasan dari bahan-bahan kimia pertanian harus dilengkapi/menggunakan
keterangan perlindungan bagi keamanan pengguna. Jenis dan tingkat
perlindungan berbeda tergantung pada tingkat keracunan dari
masing-masing bahan kimia pertanian. Penyimpanan yang tepat dari
bahan-bahan kimia pertanian dan keterangan mengenai pelepasan dari bahan
kimia pertanian ke lingkungan termasuk tingkat yang dapat meracuni dan
digambarkan pada label dari kemasan tersebut. Dengan memperhatikan
keterangan-keterangan ini, keamanan para pengguna, keamanan dari pangan,
keamanan dari konsumen pangan dan keamanan lingkungan dapat diwujudkan
(Uehara, 1993).
Penelitian yang Mendukung Kepada
Usaha Pelestarian Lingkungan Kebijakan global pembatasan penggunaan
pestisida sintetik, dapat menjadi kendala di dalam meningkatkan eksport
komoditi pertanian, disamping juga semakin ketatnya peraturan mengenai
keamanan lingkungan serta banyaknya kelemahan dalam pemakaian bahan
kimia dan antibiotika untuk proteksi pertanian (tanaman dan hewan)
(Suwanto, 1994; Suwahyono, 1996). Salah satu usaha dalam mengatasi
limbah yang disebabkan perkembangan teknologi dan peningkatan proses
industrialisasi yaitu dengan cara menerapkan teknologi yang sejalan
dengan proses-proses alamiah dengan adanya siklus-siklus tertutup tanpa
membebani lingkungan. Eko-teknologi merupakan salah satu cara untuk
mengatasi problem lingkungan yaitu teknologi yang memerlukan energi yang
kecil dan menghasilkan buangan sekecil mungkin (yang mampu diterima
oleh lingkungan) atau bahkan tanpa buangan sama sekali (Utami dan Rahyu,
1996).
Beberapa contoh produk pestisida
masa depan yang ramah lingkungan adalah daya mobilitas di tanah yang
rendah, aktivitas unit yang tinggi, jangka waktu yang pendek, tidak
menguap, mudah didekomposisi oleh mikroorganisme tanah, tingkat
keracunan yang rendah pada hewan, perairan dan kehidupan di sekitarnya
dan tingkat kerusakan produk yang rendah yang tidak membahayakan
lingkungan. Penelitian pada pengendalian
hama yang ramah lingkungan yaitu melalui
rekayasa genetik dengan membuat tanaman-tanaman yang resisten terhadap
hama melalui pengetahuan bioteknologi. Penelitian juga dilakukan pada
perumusan bahan-bahan kimia yang ditujukan untuk memperbaiki keamanan
dan lebih mengefektifkan kegunaan dari bahan-bahan kimia pertanian (Ton,
1991; Uehara, 1993).
Pengendalian Hayati/Biologi
Peningkatan pembangunan pertanian
diarahkan pada sistem pertanian berkelanjutan, dimana makna dari
“berkelanjutan” adalah mengelola sumber daya yang ada sehingga dapat
digunakan secara berkesinambungan serta meminimalisasi dampak negatif
yang timbul. Dengan adanya pertanian berkelanjutan, maka penggunaan
pestisida dapat secara teliti dan bertanggung jawab (Ton, 1991; Sa’id,
1994). Dalam pertanian berkelanjutan, petani harus belajar dan
meninggalkan metode produksi yang memakai banyak bahan kimia.
Memakai cara rotasi tanam, menanam
kacangan dan rumput untuk mengisi persediaan N, merawat tanah dengan
pupuk dan kompos, serta mendaur ulang bahan organik. Pendekatan ini
akan melindungi tanah dan mencegah pencemaran dan pencucian pupuk/bahan
kimia dari tanah ke aliran sungai (Hallowell, 1997).
Dengan semakin ketatnya peraturan
pemakaian bahan kimia, pengendalian hayati atau biokontrol merupakan
salah satu strategi untuk mengatasi dampak pencemaran lingkungan akibat
pemakaian bahan kimia untuk proteksi pertanian. Menurut Ehrlich (1990)
dan Lindow (1988) dalam Suwanto (1994), pengendalian suatu penyakit
melalui biokontrol membutuhkan pengetahuan yang rinci mengenai interaksi
patogen inang dan antara patogen dengan mikroba-mikroba sekitarnya.
Pengetahuan ini sangat penting karena prinsip biokontrol adalah
pengendalian dan bukan pemberantasan patogen.
Keberhasilan suatu biokontrol
ditentukan oleh kemampuan hidup agen biokontrol tersebut dalam
lingkungannya. Salah satu agensia pengendalian hayati yang efektif yaitu
jamur Trichoderma spp yang mempu menangkal pengaruh negatif jamur
patogen pada tanaman kedelai (tanaman inang). Species Trichoderma
harzianum dan Trichoderma viridae dapat mengendalikan aktifitas jamur
patogen Rhizoctonia solanii yang memberikan pengaruh positif terhadap
kemampuan berkecambah biji kedelai dan pertumbuhan biomassa tanaman
(Suwahyono, 1996).
Permasalahan bahan residu pestisida
dapat juga diatasi dengan menggunakan metode Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) yang menggabungkan beberapa metode pengendalian, termasuk
diantaranya menggunakan bahan hayati sebagai pengendali. Bagi lahan yang
telah tercemar oleh residu pestisida, dewasa ini telah dikembangkan
“Bioremediasi”. “Bioremediasi” dikenal sebagai usaha perbaikan tanah dan
air permukaan dari residu pestisida atau senyawa rekalsitran lainnya
dengan menggunakan jasa mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan
berasal dari tanah namun karena jumlahnya masih terbatas sehingga masih
perlu pengkayaan serta pengaktifan yang tergantung pada tingkat
rekalsitran senyawa yang dirombak (Sa’id, 1994).
KESIMPULAN
Pestisida adalah bahan-bahan kimia
yang tidak terlepas dari penggunaannya untuk mengendalikan hama dan
jasad pengganggu lainnya. Pestisida tidak saja membawa dampak yang
positif terhadap peningkatan produk pertanian, tapi juga membawa dampak
negatif terhadap lingkungan di sekitarnya. Pengarahan dan penggunaan
yang lebih tepat kepada para penggunaan dalam hal pemberian dosis, waktu
aplikasi, cara kerja yang aman, akan mengurangi ketidakefisienan
penggunaan pestisida pada lingkungan dan mengurangi sekecil mungkin
pencemaran yang terjadi.
Di masa yang akan datang diharapkan
penggunaan pestisida akan berkurang dan lebih selektif dan didukung oleh
adanya penemuan-penemuan baru yang lebih efektif dalam mengatasi
gangguan dari jasad pengganggu ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Alexander, M., 1977. Soil Microbiology, Second Edition. John Wiley & Sons, Ind., New York, pp 438-440.
- Hallowell, C., 1997. Time, Vol. 150 (17A). Time Inc., Asia, pp 22-26. Loehr, R.C., 1984. Pollution Control for Agriculture, Second Edition. Academic Press, Inc., Florida, pp 28-29, 399-401.
- Sa’id, E.G., 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek, Vol. 2(1). IPB, Bogor, hal 71-72.
- Sudarmo, S., 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal 15-33.
- Suwahyono, U., 1996. Aplikasi Biofungisida Trichoderma spp Untuk Pengendali Jamur Patogen Rhizoctonia solanii Pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Alami, Vol. 1(2). BPPT, Jakarta, hal 50-53.
- Suwanto, A., 1994. Mikroorganisme Untuk Biokontrol : Strategi Penelitian dan Penerapannya Dalam Bioteknologi Pertanian. Agrotek, Vol. 2(1). IPB, Bogor, hal 40-46.
- Ton, S.W., 1991. Environmental Considerations With Use of Pesticides in Agriculture. Paper pada Lustrum ke-VIII Fakultas Pertanian USU, Medan.
- Utami, A. dan Rahyu B., 1996. Eko-Teknologi Sebagai Jalan Keluar Untuk Mengatasi Problem Lingkungan. Alami, Vol. 1(2). BPPT, jakarta, hal 54-57.
- Uehara, K., 1996. The Present State of Plant Protection in Japan-Safety Countermeasures
- for Agriculture Chemicals. Japan Pesticide Information, No. 61. Japan Plant Protection Association, Tokyo, Japan, pp 3-6.
(Diana Sofia, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara)
0 komentar:
Posting Komentar